Friday 30 September 2011

Tingkat ini, Nindya Praja


Aku tengah duduk dipelataran Plasa Menza. Menatapi kota-kota dikaki gunung diseberang sana yang berpadu indah dengan langit di sore ini. Semilir angin mengusap lembut wajahku dalam damai. Teringat aku dalam balutan seragam hitam putih calon praja dengan rambut kosong kosong lecet, wajah hitam kucel tak terawat berlari lari melintasi jalan di depan abdi praja. Salam sana, salam sini. PPM sana, PPM sini. Sungguh terlihat bingung-bingung. Hingga Latsar Mendispra yang hingga kini menjadi dasar dalam pembentukan fisik dan mentalku dalam mengawali langkah menjalani pendidikan ini. Ketika kedua orang tuaku datang dalam pengukuhan sebagai Muda Praja, sungguh mengharukanku hingga terpatri janji bahwa aku akan menyelesaikan pendidikan ini sebaik-baiknya dan akan mempersembahkan yang terbaik untuk keduanya. Menapaki tahun-tahun berikutnya sungguh seperti kejaran angin yang bermain di Plasa Menza sore ini. Pada saat pundak ini kejatuhan satu bintang yang ibarat berkah dari langit dan kemudian akupun mempunyai adik, kurasakan waktu seakan mengajak bersahabat dan bermain bersama. Begitu cepat ia berlari dan tanpa aku sadari bahwa aku telah ada pada tingkat ini, Nindya Praja. Menunggu detik-detik penerimaan SK-CPNS aku hanya mampu tersenyum simpul, semoga menjadi berita gembira bagi kedua orangtuaku dikampung halaman. Mungkin dapat meringankan biaya sekolah adik-adikku, minimal aku telah mampu membiayai hidupku sendiri hingga sedikitnya mengurangi beban kedua orangtuaku. Aku mendesah perlahan. Kini dua bintang telah mengisi dekku. 2 angkatan sudah aku membimbing adik-adikku. Adakah yang lebih berharga dari menikmati waktu-waktu akhir di kampus ini? Banyak purna yang berkomentar bahwa Nindya Praja adalah masa keemasan, tingkat terenak dalam masa pendidikan di IPDN ini. Aku hanya ingin membuktikan dan menikmatinya.
Kemudian terbesit dalam benakku sebuah tulisan yang berada di atm kami “pegawai pemersatu bangsa”. Mampukah aku dan rekan-rekanku membumikan kata-kata itu hingga ia bukan lagi sekedar tulisan yang menghiasi kartu atm kami? Bagaimana kami mampu untuk merealisasikannya ketika bangsa ini tengah mengalami pengkotak-kotakkan dirinya sendiri? Ketika menjadi seorang pegawai negeri sipil yang berjiwa pamong dan mengedepankan misi melayani bukan dilayani masih sulit ditemukan di negeri ini? Lalu apa yang mampu dibuat oleh seorang pamong praja muda kala kebersamaan dan kesatuan itu telah kehilangan tradisinya dan memudar warnanya?
Ah, apa yang aku pikirkan? Untuk saat ini yang terbaik adalah menjadi teladan yang baik bagi adik-adikku dan mengambil contoh yang baik dari kakak-kakakku, menjaga nama baik lembaga ini bahkan membesarkan namanya dengan hal-hal yang positif hingga citra satu-satunya sekolah pamong ini menjadi bersinar kembali dan mampu disandingkan dengan sekolah-sekolah kedinasan lain, menjaga kekondusifan situasi dikampus dan menjaga hubungan baik dengan tingkat atas maupun tingkat bawah apalagi yang setingkat. Karena harusnya desas desus yang membawa angin tidak baik bagi keberlangsungan kampus ini harus dinetralisir. Bukan sedikit purna praja dari sekolah ini yang ternyata telah membawa perubahan yang luar biasa pada sendi-sendi kehidupan pemerintahan bahkan tidak sedikit pula yang menahkodai pemerintahan itu sendiri hingga menginspirasi Prof. Taliziduhu Ndraha untuk menggambarkan pamong itu sebagai kemudi kapal.
Waktuku di kampus ini mungkin tidaklah cukup untuk membenahi apapun. Tapi kalau persatuan dan kesatuan itu digalang, bukan menjadi suatu hal yang mustahil untuk mewujudkannya. Mungkin rasa keterikatan dan korsa itu telah ada. Tapi mungkin telah tertutup dengan debu-debu pengkotak-kotakan Indonesia itu sendiri alias ego daerah. Sudah saatnya di tingkat ini, Nindya Praja aku mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik yang meskipun sedikit tapi semoga saja mempu mengilhami rekan-rekan lain untuk menirunya dan proses kami sebagai pegawai pemersatu bangsa itu dapat terealisasi. Amin.

No comments:

Post a Comment