Wednesday 28 September 2011

REVISI UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2004


Di negara yang demokratis, penyelenggaraan Pemilu diupayakan untuk mandiri dari proses politik dan pemerintahan. Hal ini disebabkan karena di satu pihak, tidak diinginkan adanya intervensi dari proses politik dan pemerintahan terhadap hasil Pemilu. Di lain pihak, proses pemerintahan diharapkan berjalan tanpa dipengaruhi oleh atau dimanfaatkan untuk kepentingan pemenangan Pemilu. Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan antara rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan.
Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah. Hal ini telah terjamin dalam UUD 1945 Pasal 22 (5) yang menggariskan bahwa : Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Namun dalam UUD 1945 sendiri, pemisahan antara rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan belum sempurna. Hal ini tampak dari penempatan pengaturan Pemilu Presiden yang dalam UUD 1945 berada dalam Bab Kekuasaan Pemerintahan. Sedangkan Pemilu Kepala Daerah berada di dalam Bab Pemerintahan Daerah. Hal ini pulalah yang menyebabkan pengaturan mengenai Pemilu Kepala Daerah sekarang diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. masalah utama yang ditimbulkan oleh UU No.32/2004, terutama tentang pengaturan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada).

A. Kemunduran Demokratisasi Akibat Peran Depdagri dalam Pilkada
Penyelenggaraan Pilkada bergantung pada PP yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 65 (4), 89 (23), 94(2), 114(4) UU No.32/2004.
a. Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan Pemilu jurdil yang sepenuhnya bebas dari intervensi pemerintah dan kembali pada era Pemilu di bawah Depdagri pada masa Orde Baru.
b. Jelas ini merupakan langkah mundur dalam proses demokratisasi di Indonesia karena di negara-negara demokrasi, Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang sepenuhnya independen dari pemerintah.
c. Khususnya dalam kaitannya dengan Provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua yang telah memiliki UU Otonomi Khusus, campur tangan Depdagri melalui PP dapat mengorbankan prinsip otonomi khusus yang telah dilimpahkan kepada kedua provinsi ini jauh sebelum UU Pemda No.32/2004 disusun.
d. Hal ini dapat dianggap berlawanan dengan Pasal 22 UUD 1945 yang menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

B. Rezim Pemilu disubordinasikan kepada Rezim Pemerintah Daerah
1. Penghapusan peran KPU dalam UU Pemda menunjukkan bahwa Pembuat UU cenderung melihat Pilkada sebagai bagian dari Rezim Pemerintah Daerah bukan Rezim Pemilu.
2. Hal ini juga mengacu pada interpretasi UUD 1945 yang tidak menyebutkan Pilkada sebagai bagian dari Pemilu. Hal ini mungkin disebabkan karena Amandemen UUD 1945 tentang Pemilu dan Otonomi Daerah tidak terjadi pada waktu atau tidak runtut.
3. Namun meskipun demikian perlu diingat bahwa dalam UUD 1945, Pemilu Presiden juga tidak berada dalam Bab Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU. Namun penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 yang lalu juga diselenggarakan oleh KPU.
4. Pengaturan Pilkada Langsung yang berada dalam UU Pemda semakin memperkuat asumsi bahwa Pilkada adalah bagian dari rezim Pemerintah Daerah.
5. Akibatnya peran KPU yang oleh UUD 1945 ditetapkan sebagai penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dihapus dari penyelenggaraan Pilkada, bahkan tidak ada otoritas koordinasi dengan KPUD.
6. Ketiadaan peran KPU sebagai ototoritas nasional penyelenggara Pemilu akan menyebabkan :
• Lemahnya standar minimal penyelenggaraan Pemilu karena setiap KPUD dapat menetapkan standar sendiri yang belum tentu memenuhi syarat Pemilu jurdil dan demokratis.
• Ketiadaan fungsi supervisi dan bimbingan dari otoritas yang lebih tinggi yang terbukti sangat diperlukan bila KPUD menghadapi masalah yang tak dapat diselesaikan di tingkat lokal.
• KPUD belum berpengalaman dalam membuat berbagai aturan teknis penyelenggaraan Pemilu. Pemberian tanggungjawab penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD juga cacat secara hukum karena entitas KPUD dibentuk oleh KPU dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari KPU. Di negara Federalpun, diupayakan agar selalu ada standar dan otoritas nasional yang menetapkan standar minimum dan menjalankan fungsi supervisi dan koordinasi. Misalnya di India dan Malaysia.

C. Korupsi di Tingkat Lokal
UU Pemda No.32/2004 memberikan wewenang penuh kepada KPUD baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota untuk menyelenggarakan Pemilu dengan berpedoman pada PP. Hal ini berpeluang mengakibatkan masalah-masalah sebagai berikut :
1. Kooptasi DPRD serta pasangan calon yang masih menjabat sebagai kepala daerah terhadap KPUD dalam hal :
- anggaran
- pertanggungjawaban
2. Tidak ada standar aturan umum Pengadaan Perlengkapan Pilkada yang berlaku secara nasional seperti tercantum dalam UU No.12/2003 tentang Pemilu dan Pasal 17-18 UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden :
• Prinsip transparansi
• Prinsip tepat waktu & akurasi
• Prinsip hemat anggaran
• Aspek kualitas
• Aspek keamanan
3. Tidak ada supervisi otoritas nasional untuk mengawasi KPUD Panwasda tidak memiliki mandat kuat mengawasi korupsi KPUD.
4. Walaupun bertanggungjawab pada DPRD masih terbuka kemungkinan KKN antara KPUD dengan kepala daerah yang juga calon.
5. BPKP Daerah sulit diharapkan karena dikendalikan oleh Kepala Daerah yang kemungkinan juga menjadi calon.
6. Independensi anggota KPUD dipertanyakan sehingga perlu pengawasan oleh otoritas nasional. Misalnya, sampai sekarang masih banyak KPUD bermasalah yang terlibat pelanggaran pidana dan administratif pada Pemilu 2004.



Tiga Faktor dalam Implementasi UU No. 32/2004

Faktor krusial 1 Terkait pilkada:
Money politics yang tak terkendali ;
•Retaknya modal social ditingkat lokal;
•Penyalahgunaan jabatan dan kewenangan incumbent;
•Mandulnya (tanpa otoritas memaksa dari) lembaga pengawas;
•Imunnya posisi KPU(D)  ditengah banyaknya pelanggaran termasuk yang dilakukannya;
•Lapangan permainan para cukong.

Faktor krusial 2 Terkait dengan level otonomi:
•Bertingkat (provinsi dan kabupaten kota, dengan kewenangan masing-masing) tak dapat dihindari gemuknya struktur dgn konsekwensi pembiayaan
•Lemahnya koordinasi antar level, setiap level jalan sendiri-sendiri

Faktor krusial 3 Terkait dengan penyelenggara PEMDA
•Ajang perebutan jabatan bagi para elite (birokrasi dan politisi);
•Kewenangan kepala daerah yang begitu kuat (mengendali keuangan dan birokrasi) (terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan jabatan) korupsi dan birokrasi yang jauh dari profesionalisme;
•Orientasi pejabat penyelenggara di daerah yang fragmatis (berkejaran dengan waktu) sulitnya menemukan agenda strategis jangka panjang & sulitnya mencapai tujuan pembangunan nasional.

Revisi Berbasis Faktor Krusial
Terkait  pilkada:
•Perlunya pemberian kewenangan yang memaksa kepada lembaga pengawas pilkada;
•Perlunya pemberian sanksi yang tegas kepada penyelenggara pilkada (KPU/D);
•Perlunya pemberian sanksi yg tegas kepada pemberi dan penerima money politics;
•Pengaturan ulang tentang system rekrutmen dan kampanye bagi kontestan (eliminir cara yg jor2an dengan misalnya memberlakukan pajak progresif bagi pemasang iklan, lokalisasi tempat pemasangan gambar, dsb);

Terkait level otonomi
•Perlunya memastikan otonomi hanya satu level preferensi: level provinsi.
•Jadikan kabupaten/kota sebagai ujung tombang pelaksana kebijakan. Eliminir atau hindari jabatan/lembaga politik di level ini (misalnya, hapuskan DPRD, jadikan lembaga dewan kabupaten/kota);

Terkait penyelenggara Pemda
•Kewenangan kepala daerah perlu dikendalikan sehingga tak sewenang-wenang mengendalikan birokrasi dan keuangan (terkait pula dengan keharusan merevisi UU ttg Kepegawaian);
•Pastikan besaran gaji yang layak bagi kepala daerah, seraya memastikan untuk tidak memperoleh pendapatan tambahan selain gaji yang diporsikan padanya;

Visi Revisi
•Penciptaan pemerintahan daerah yang baik dan bersih;
•Memastikan daerah sebagai basis dan penentu yang efektif untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional;
•Mengembalikan modal sosial di tingkat lokal sebagai warisan budaya harmoni.

No comments:

Post a Comment