Di negara yang demokratis, penyelenggaraan Pemilu
diupayakan untuk mandiri dari proses politik dan pemerintahan. Hal ini
disebabkan karena di satu pihak, tidak diinginkan adanya intervensi dari proses
politik dan pemerintahan terhadap hasil Pemilu. Di lain pihak, proses
pemerintahan diharapkan berjalan tanpa dipengaruhi oleh atau dimanfaatkan untuk
kepentingan pemenangan Pemilu. Hal inilah yang menjadi dasar pemisahan antara
rezim Pemilu dengan rezim Pemerintahan.
Oleh karena itu salah satu prasyarat penting dalam
penyelenggaraan Pemilu di negara demokrasi adalah bahwa penyelenggaraan Pemilu
dilaksanakan oleh lembaga yang mandiri dari pemerintah. Hal ini telah terjamin
dalam UUD 1945 Pasal 22 (5) yang menggariskan bahwa : Pemilihan Umum
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri.
Namun dalam UUD 1945 sendiri, pemisahan antara rezim
Pemilu dengan rezim Pemerintahan belum sempurna. Hal ini tampak dari penempatan
pengaturan Pemilu Presiden yang dalam UUD 1945 berada dalam Bab Kekuasaan
Pemerintahan. Sedangkan Pemilu Kepala Daerah berada di dalam Bab Pemerintahan
Daerah. Hal ini pulalah yang menyebabkan pengaturan mengenai Pemilu Kepala
Daerah sekarang diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. masalah
utama yang ditimbulkan oleh UU No.32/2004, terutama tentang
pengaturan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada).
A. Kemunduran
Demokratisasi Akibat Peran Depdagri dalam Pilkada
Penyelenggaraan Pilkada bergantung pada PP yang
dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri sebagaimana tercantum dalam Pasal 65
(4), 89 (23), 94(2), 114(4) UU No.32/2004.
a.
Hal ini merupakan kemunduran dari visi penyelenggaraaan Pemilu jurdil yang
sepenuhnya bebas dari intervensi pemerintah dan kembali pada era Pemilu di
bawah Depdagri pada masa Orde Baru.
b.
Jelas ini merupakan langkah mundur dalam proses demokratisasi di Indonesia
karena di negara-negara demokrasi, Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang
sepenuhnya independen dari pemerintah.
c.
Khususnya dalam kaitannya dengan Provinsi-provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan
Papua yang telah memiliki UU Otonomi Khusus, campur tangan Depdagri melalui PP
dapat mengorbankan prinsip otonomi khusus yang telah dilimpahkan kepada kedua
provinsi ini jauh sebelum UU Pemda No.32/2004 disusun.
d.
Hal ini dapat dianggap berlawanan dengan Pasal 22 UUD 1945 yang menggariskan
bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
B.
Rezim Pemilu disubordinasikan kepada Rezim Pemerintah Daerah
1.
Penghapusan peran KPU dalam UU Pemda menunjukkan bahwa Pembuat UU cenderung
melihat Pilkada sebagai bagian dari Rezim Pemerintah Daerah bukan Rezim Pemilu.
2.
Hal ini juga mengacu pada interpretasi UUD 1945 yang tidak menyebutkan Pilkada
sebagai bagian dari Pemilu. Hal ini mungkin disebabkan karena Amandemen UUD
1945 tentang Pemilu dan Otonomi Daerah tidak terjadi pada waktu atau tidak
runtut.
3.
Namun meskipun demikian perlu diingat bahwa dalam UUD 1945, Pemilu Presiden
juga tidak berada dalam Bab Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU. Namun
penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 yang lalu juga diselenggarakan oleh KPU.
4.
Pengaturan Pilkada Langsung yang berada dalam UU Pemda semakin memperkuat
asumsi bahwa Pilkada adalah bagian dari rezim Pemerintah Daerah.
5.
Akibatnya peran KPU yang oleh UUD 1945 ditetapkan sebagai penyelenggara Pemilu
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri dihapus dari penyelenggaraan Pilkada,
bahkan tidak ada otoritas koordinasi dengan KPUD.
6.
Ketiadaan peran KPU sebagai ototoritas nasional penyelenggara Pemilu akan
menyebabkan :
•
Lemahnya standar minimal penyelenggaraan Pemilu karena setiap KPUD dapat
menetapkan standar sendiri yang belum tentu memenuhi syarat Pemilu jurdil dan
demokratis.
•
Ketiadaan fungsi supervisi dan bimbingan dari otoritas yang lebih tinggi yang
terbukti sangat diperlukan bila KPUD menghadapi masalah yang tak dapat
diselesaikan di tingkat lokal.
•
KPUD belum berpengalaman dalam membuat berbagai aturan teknis penyelenggaraan
Pemilu. Pemberian tanggungjawab penyelenggaraan Pilkada kepada KPUD juga cacat
secara hukum karena entitas KPUD dibentuk oleh KPU dan merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari KPU. Di negara Federalpun, diupayakan agar selalu ada
standar dan otoritas nasional yang menetapkan standar minimum dan menjalankan
fungsi supervisi dan koordinasi. Misalnya di India dan Malaysia.
C.
Korupsi di Tingkat Lokal
UU Pemda No.32/2004 memberikan wewenang penuh kepada
KPUD baik di tingkat provinsi maupun di tingkat kabupaten/kota untuk
menyelenggarakan Pemilu dengan berpedoman pada PP. Hal ini berpeluang
mengakibatkan masalah-masalah sebagai berikut :
1.
Kooptasi DPRD serta pasangan calon yang masih menjabat sebagai kepala daerah
terhadap KPUD dalam hal :
-
anggaran
-
pertanggungjawaban
2.
Tidak ada standar aturan umum Pengadaan Perlengkapan Pilkada yang berlaku
secara nasional seperti tercantum dalam UU No.12/2003 tentang Pemilu dan Pasal
17-18 UU No.23/2003 tentang Pemilu Presiden :
•
Prinsip transparansi
•
Prinsip tepat waktu & akurasi
•
Prinsip hemat anggaran
•
Aspek kualitas
•
Aspek keamanan
3.
Tidak ada supervisi otoritas nasional untuk mengawasi KPUD Panwasda tidak
memiliki mandat kuat mengawasi korupsi KPUD.
4.
Walaupun bertanggungjawab pada DPRD masih terbuka kemungkinan KKN antara KPUD
dengan kepala daerah yang juga calon.
5.
BPKP Daerah sulit diharapkan karena dikendalikan oleh Kepala Daerah yang
kemungkinan juga menjadi calon.
6.
Independensi anggota KPUD dipertanyakan sehingga perlu pengawasan oleh otoritas
nasional. Misalnya, sampai sekarang masih banyak KPUD bermasalah yang terlibat
pelanggaran pidana dan administratif pada Pemilu 2004.
Tiga Faktor
dalam Implementasi UU No. 32/2004
Faktor krusial 1 Terkait
pilkada:
•Money politics yang tak terkendali ;
•Retaknya modal social ditingkat lokal;
•Penyalahgunaan jabatan dan kewenangan incumbent;
•Mandulnya (tanpa otoritas memaksa dari) lembaga pengawas;
•Imunnya posisi KPU(D) ditengah banyaknya pelanggaran termasuk yang
dilakukannya;
•Lapangan permainan para cukong.
Faktor krusial 2 Terkait dengan level otonomi:
•Bertingkat (provinsi dan kabupaten kota, dengan kewenangan
masing-masing) tak dapat dihindari gemuknya struktur dgn konsekwensi
pembiayaan
•Lemahnya koordinasi antar level, setiap level jalan
sendiri-sendiri
Faktor krusial 3 Terkait dengan penyelenggara PEMDA
•Ajang perebutan jabatan bagi para elite (birokrasi dan politisi);
•Kewenangan kepala daerah yang begitu kuat (mengendali keuangan
dan birokrasi) (terjadinya penyalahgunaan kewenangan dan jabatan) korupsi dan
birokrasi yang jauh dari profesionalisme;
•Orientasi pejabat penyelenggara di daerah yang fragmatis
(berkejaran dengan waktu) sulitnya menemukan agenda strategis jangka panjang
& sulitnya mencapai tujuan pembangunan nasional.
Revisi Berbasis
Faktor Krusial
Terkait pilkada:
•Perlunya pemberian kewenangan yang memaksa kepada lembaga pengawas
pilkada;
•Perlunya pemberian sanksi yang tegas kepada penyelenggara pilkada
(KPU/D);
•Perlunya pemberian sanksi yg tegas kepada pemberi dan penerima
money politics;
•Pengaturan ulang tentang system rekrutmen dan kampanye bagi kontestan
(eliminir cara yg jor2an dengan misalnya memberlakukan pajak progresif bagi pemasang
iklan, lokalisasi tempat pemasangan gambar, dsb);
Terkait level
otonomi
•Perlunya memastikan otonomi hanya satu level preferensi:
level provinsi.
•Jadikan kabupaten/kota sebagai ujung tombang pelaksana
kebijakan. Eliminir atau hindari jabatan/lembaga politik di level ini
(misalnya, hapuskan DPRD, jadikan lembaga dewan kabupaten/kota);
Terkait
penyelenggara Pemda
•Kewenangan kepala daerah perlu dikendalikan sehingga tak sewenang-wenang
mengendalikan birokrasi dan keuangan (terkait pula dengan keharusan merevisi UU
ttg Kepegawaian);
•Pastikan besaran gaji yang layak bagi kepala daerah, seraya memastikan
untuk tidak memperoleh pendapatan tambahan selain gaji yang diporsikan padanya;
Visi Revisi
•Penciptaan pemerintahan daerah yang baik dan bersih;
•Memastikan daerah sebagai basis dan penentu yang efektif
untuk pencapaian tujuan pembangunan nasional;
•Mengembalikan modal sosial di tingkat lokal sebagai warisan
budaya harmoni.