Aku
tengah duduk dipelataran Plasa Menza. Menatapi kota-kota dikaki gunung
diseberang sana yang berpadu indah dengan langit di sore ini. Semilir angin
mengusap lembut wajahku dalam damai. Teringat aku dalam balutan seragam hitam
putih calon praja dengan rambut kosong kosong lecet, wajah hitam kucel tak
terawat berlari lari melintasi jalan di depan abdi praja. Salam sana, salam
sini. PPM sana, PPM sini. Sungguh terlihat bingung-bingung. Hingga Latsar
Mendispra yang hingga kini menjadi dasar dalam pembentukan fisik dan mentalku
dalam mengawali langkah menjalani pendidikan ini. Ketika kedua orang tuaku
datang dalam pengukuhan sebagai Muda Praja, sungguh mengharukanku hingga
terpatri janji bahwa aku akan menyelesaikan pendidikan ini sebaik-baiknya dan
akan mempersembahkan yang terbaik untuk keduanya. Menapaki tahun-tahun
berikutnya sungguh seperti kejaran angin yang bermain di Plasa Menza sore ini. Pada
saat pundak ini kejatuhan satu bintang yang ibarat berkah dari langit dan
kemudian akupun mempunyai adik, kurasakan waktu seakan mengajak bersahabat dan
bermain bersama. Begitu cepat ia berlari dan tanpa aku sadari bahwa aku telah
ada pada tingkat ini, Nindya Praja. Menunggu detik-detik penerimaan SK-CPNS aku
hanya mampu tersenyum simpul, semoga menjadi berita gembira bagi kedua
orangtuaku dikampung halaman. Mungkin dapat meringankan biaya sekolah
adik-adikku, minimal aku telah mampu membiayai hidupku sendiri hingga
sedikitnya mengurangi beban kedua orangtuaku. Aku mendesah perlahan. Kini dua
bintang telah mengisi dekku. 2 angkatan sudah aku membimbing adik-adikku.
Adakah yang lebih berharga dari menikmati waktu-waktu akhir di kampus ini?
Banyak purna yang berkomentar bahwa Nindya Praja adalah masa keemasan, tingkat
terenak dalam masa pendidikan di IPDN ini. Aku hanya ingin membuktikan dan
menikmatinya.
Kemudian
terbesit dalam benakku sebuah tulisan yang berada di atm kami “pegawai
pemersatu bangsa”. Mampukah aku dan rekan-rekanku membumikan kata-kata itu
hingga ia bukan lagi sekedar tulisan yang menghiasi kartu atm kami? Bagaimana
kami mampu untuk merealisasikannya ketika bangsa ini tengah mengalami
pengkotak-kotakkan dirinya sendiri? Ketika menjadi seorang pegawai negeri sipil
yang berjiwa pamong dan mengedepankan misi melayani bukan dilayani masih sulit
ditemukan di negeri ini? Lalu apa yang mampu dibuat oleh seorang pamong praja
muda kala kebersamaan dan kesatuan itu telah kehilangan tradisinya dan memudar
warnanya?
Ah,
apa yang aku pikirkan? Untuk saat ini yang terbaik adalah menjadi teladan yang
baik bagi adik-adikku dan mengambil contoh yang baik dari kakak-kakakku,
menjaga nama baik lembaga ini bahkan membesarkan namanya dengan hal-hal yang
positif hingga citra satu-satunya sekolah pamong ini menjadi bersinar kembali
dan mampu disandingkan dengan sekolah-sekolah kedinasan lain, menjaga
kekondusifan situasi dikampus dan menjaga hubungan baik dengan tingkat atas
maupun tingkat bawah apalagi yang setingkat. Karena harusnya desas desus yang
membawa angin tidak baik bagi keberlangsungan kampus ini harus dinetralisir.
Bukan sedikit purna praja dari sekolah ini yang ternyata telah membawa
perubahan yang luar biasa pada sendi-sendi kehidupan pemerintahan bahkan tidak
sedikit pula yang menahkodai pemerintahan itu sendiri hingga menginspirasi
Prof. Taliziduhu Ndraha untuk menggambarkan pamong itu sebagai kemudi kapal.
Waktuku
di kampus ini mungkin tidaklah cukup untuk membenahi apapun. Tapi kalau
persatuan dan kesatuan itu digalang, bukan menjadi suatu hal yang mustahil
untuk mewujudkannya. Mungkin rasa keterikatan dan korsa itu telah ada. Tapi
mungkin telah tertutup dengan debu-debu pengkotak-kotakan Indonesia itu sendiri
alias ego daerah. Sudah saatnya di tingkat ini, Nindya Praja aku mampu membawa
perubahan kearah yang lebih baik yang meskipun sedikit tapi semoga saja mempu
mengilhami rekan-rekan lain untuk menirunya dan proses kami sebagai pegawai
pemersatu bangsa itu dapat terealisasi. Amin.
No comments:
Post a Comment